I
PENDAHULUAN
Al-quran diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah
tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang
didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian
yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Agaknya tidak berlebihan jika dikemukakan bahwa diantara cabang
ilmu yang sangat penting dari rumpun-rumpun ilmu Alquran adalah ilmu Tafsir.
Hal ini bukan karena semata-mata lebih tua dariu cabang-cabang ilmu-ilmu
Alquran lainnya, akan tetapi lebih kepada peranannya yang sangat penting dalam
menggali dan memahami ayat-ayat Alquran. Dalam perjalanan waktu yang sangat
panjang, sejak turunnya Alquran kepada nabi Muhammad Saw., ilmu Tafsir terus
berkembang dan terdapat banyak kitab-kitab tafsir dengan corak yang beraneka
ragam. Para ulama tafsir belakangan memilah-milih kitab teresbut berdasarkan
metode penafsirannya, baik ijmali, tahlili, maudhu’i dan muqaran.
Yang paling populer dari antara corak atau metode penafsiran
tersebut adalah metode tahlili dan maudhu’i. Penafsiran dengan metode tahlili
yang oleh Baqir dinamai sebagai metode Tajzi’i adalah sebuah metode tafsir
dimana mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat demi ayat atau surah demi
surah sebagaimana tersebut dalam mushaf. Untuk lebih jelasnya, makalah ini akan
membahas beberapa kajian yang terkait dengan tafsir tahlili tersebut.
II
PEMBAHASAN
A. Tafsir
Tahlili Ayat 41-47 Surat At-Taubah
PERINTAH
PERANG
انفِرُوا۟
خِفَافًا وَثِقَالًا وَجٰهِدُوا۟ بِأَمْوٰلِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ ۚ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿التوبة:٤١﴾
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat,
dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Kosakata: فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Fi sabilillah, terdiri
dari kata fi sebagai kata penghubung yang di atau di dalam.
Kata sabilillah adalah sifah musyabbahah bi isim fa’il
dari sabala –yasbulu-sablan, yang berarti jalan yang menyampaikan
seseorang pada Allah, baik melalui akidah, maupun perbuatan. Secara khusus fi
sabilillah berperang melawan musuh agama. Secara umum makna fi
sabilillah mencakup segala perbuatan atau amal yang ikhlas, yang
dipergunakan untuk taqarrub kepada Allah dengan melaksanakan segala
perbuatan yang wajib ataupun sunna`h. Dan kata fi sabilillah disebutkan 67 kali
dalam Al-Qur’an dan tersebar di berbagai surat.
Munasabah
Ayat-ayat yang
lalu mengecam orang-orang yang tidak pergi berperang bersama Rasulullah saw,
dan yang merasa enggan pada waktu dianjurkan dan diperintahkan berperang. Ayat
ini mewajibkan setiap muslim pergi berperang dan tidak dibenarkan tidak ikut
berperang mempertahankan diri, tanah dan agama tanpa alasan.
Tafsir
Pada
ayat ini diterangkan bahwa apabila keselamatan kaum muslimin terancam, berperang
bukan lagi anjuran, tetapi wajib, sehingga tidak seorang muslimin pun yang
dibenarkan untuk tidak ikut dalam ekspedisi itu. Setiap orang yang sehat,
dewasa, kaya dan miskin wajib tampil ke medan juang untuk membela islam dan
menegakkan kebenaran. Orang-orang yang uzur yang dibenarkan syarat tidak
diwajibkan, seperti terlalu tua, lemah fisik, cacat, tak berdaya, sakit keras
dll. Karena mereka akan menjadi beban jika diikutsertakan. Firman Allah swt:
لَيْسَ عَلَى
الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا
يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Artinya:
Tiada dosa (lantaran
tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan
atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila
mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (9: 91)
Mereka diperintahkan berjihad berjaga-jaga
dari serangan musuh, mempertahankantanah air, mendermakan harta dan dirinya
untuk menegakkan keadilan, dan meninggikan kalimat Allah, tampil ke medan
perang maupun berjihad dengan harta, dengan maksud menjunjung tinggi derajat
umat dan agama. Jika dilakukan dengan ikhlas akan memberi kebahagian di dunia
dan di akhirat kelak. Dalam tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab, Imam
az-Zuhri meriwayatkan bahwa ulama besar, Sa’id Ibnu al-Musayyib, ikut berpa tisipasi
dalam peperangan walaupun salah satu matanya tidak melihat lagi. Ketika
ada yang berkata kepadanya “Bukankan engkau memiliki udzur untuk tidak ikut?”
beliau menjawab: ”Allah memerintahkan untuk pergi berjihad bagi yang keadaannya
ringan dan berat, kalau aku tidak dapat ikut berperang, paling tidak aku
memperbanyak jumlah pasukan dan akupun dapat menjaga barang-barang dan
perlengkapan.”
REAKSI ORANG MUNAFIK TERHADAP PERINTAH PERANG
وْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَّاتَّبَعُوكَ وَلٰكِنۢ
بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ ۚ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا
لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنفُسَهُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكٰذِبُونَ
﴿التوبة:٤٢﴾ عَفَا اللَّهُ عَنكَ لِمَ أَذِنتَ لَهُمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ
صَدَقُوا۟ وَتَعْلَمَ الْكٰذِبِينَ ﴿التوبة:٤٣﴾ لَا يَسْتَـْٔذِنُكَ الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ أَن يُجٰهِدُوا۟ بِأَمْوٰلِهِمْ
وَأَنفُسِهِمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌۢ بِالْمُتَّقِينَ ﴿التوبة:٤٤﴾ إِنَّمَا
يَسْتَـْٔذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِى رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ ﴿التوبة:٤٥﴾
Kalau yang kamu serukan
kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak
seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat
jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau
kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu”. Mereka membinasakan diri
mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar
orang-orang yang berdusta.(42)
Semoga Allah
memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi
berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan
sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?(43)
Orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk
tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui
orang-orang yang bertakwa.(44)
Sesungguhnya yang akan
meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang
dalam keraguannya.(45)
Kosakata: الشُّقَّةُ
Kata asy-syuqqah
diambil dari syaqqa – yasyuqqu – syaqqan wa masyaqqatan, yang berarti
berat dan melelahkan, lawan dari mudah dan kebahagian. Maksud dari ungkapan ini
adalah perjalanan jauh. Perjalanan jauh pada umumnya dirasakan berat, atau
melelahkan. Sifat orang-orang munafik seperti yang disebutkan pada surat
at-Taubah(9:42), muncul karena mereka enggan mengikuti ajaran nabi Muhammad
untuk berjihad, maka walaupun perjalan untuk berjihad tidak berapa jauh
jaraknya dari tempat tinggal mereka, namun terasa jauh bagi mereka. Kata asy-syuqqah
hanya sekali disebutkan dalam Al-Qu’an.
Munasabah
Ayat-ayat yang lalu
menganjurkan kepada kaum muslimin agar turut serta ke medan perang kemudian
disusul dengan mewajibkan perang kepada mereka. Ayat-ayat ini menerangkan
reaksi dan sikap sebagian kaum munafik terhadap anjuran dan perintah wajib
perang itu.
Tafsir
(42) Ayat ini menjelaskan latar belakang tidak
ikutnya orang-orang munafik ke medan perang sekalipun sudah diumumkan perintah wajib perang. Di antara
alasan dari keengganan mereka, karena pergi berperang akan menempuh jarak yang jauh, pada musim panas, dalam keadaan serba kekurangan,
dan belum tentu menang serta memperoleh rampasan perang (ganimah).
Mereka bersikap pesimis, karena yang dihadapi adalah tentara Romawi yang
terlatih, kuat, dan banyak jumlahnya.
Jika mereka diperintahkan ke tempat yang dekat yang tidak mengharuskan
mereka bersusah payah dalam perjalanan, pasti mendapatkan kemenangan, dan
memperoleh keuntungan dengan mudah, tentunya mereka mau dan tidak akan enggan
berperang. Untuk menyembunyikan kemunafikannya, mereka tidak segan bersumpah
dengan nama Allah bahwa jika mereka sanggup dan ada kemampuan, tentunya mereka
ikut berangkat bersama. Sumpah ini mereka ucapkan sebagai alasan ketika kaum
Muslimin sudah kembali dari perang Tabuk dengan selamat dan berada sudah di
tengah- tengah mereka, sebagaimana firman Allah:
يَعْتَذِرُونَ إِلَيْكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ
Mereka (orang-orang munafik yang tidak ikut berperang) akan
mengemukakan alasannya kepadamu ketika kamu telah kembali kepada mereka.
(at-Taubah 9: 94)
Mereka menduga bahwa sumpah
palsu yang mereka ucapkan itu menguntungkan mereka dan dapat menutupi
kemunafikannya, padahal sebenarnya tindakan itu hanya mencelakan mereka. Di
samping itu, sumpah palsu termasuk salah satu dosa besar, sebagaimana sabda
Rasulullah saw: ”Dosa besar itu ialah, menyekutukan Allah, durhaka kepada
kedua ibu bapak, membunuh diri seseorang dan bersumpah palsu.” (Riwayat
al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As)
Allah swt mengetahui kebohongan dan kepalsuan sumpah mereka dan
Allah akan membalas semuanya itu.
(43) Menurut riwayat Mujahid, ayat ini
diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik yang minta izin kepada
Rasulullah dengan berbagai alasan untuk tidak pergi berperang. Padahal dizinkan
atau tidak, mereka tetap saja akan tinggal di Medinah, dan tidak akan ikut ke
medan perang.
Allah telah memaafkan Nabi Muhammad saw karena telah memberikan izin
kepada beberapa orang munafik tidak turut bersama ke medan perang setelah
mereka mengemukakan alasan yang dibuat-buat, sebelum ada wahyu dari Allah swt
yang memberikan persetujuan atas permintaan mereka itu. Andaikan Nabi Muhammad
saw memenuhi permintaan mereka dan tidak mengizinkan mereka, tentulah rahasia
mereka terbuka, sebab diizinkan tau tidak, mereka tidak akan pergi bersama ke
medan peran.
(44) orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu tidak akan mencari-cari alasan untuk
tidak ikut berperang membela agama dan menegakkan kebenaran. Mereka juga tidak
akan meminta izin kepada Rasulullah saw untuk tidak berjihad di jalan Allah
dengan harta dan diri mereka, bahkan sebaliknya mereka selalu siap sedia
mengorbankan hartanya, sesuai dengan kemampuannya, bahkan jiwanya pun siap
dikorbankan. Allah swt mengetahui orang-orang yang bertakwa kepada-Nya yaitu
orang-orang yang selalu menghindari hal-hal yang menyebabkan kemurkaan Allah,
dan mengerjakan apa-apa yang diridai-Nya.
(45) Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang minta izin kepada
Rasulullah saw untuk tidak turut berijihad tanpa alasan yang dapat diterima, adalah orang-orang munafik yang tidak beriman
kepada Allah swt, tidak mengakui keesaan-Nya, dan tidak percaya kepada hari
akhir. mereka menyangka bahwa membelanjakan harta kekayaan di jalan Allah,
adalah suatu kebodohan dan kerugian serta berjihad dengan mengorbankan jiwa adalah
semata-mata kerugian dan penderitaan saja. Di dalam hati mereka tersimpan
perasaan ragu kepada kebenaran agamanya. Mereka selalu bingung dan bimbang.
Mereka mau bekerja sama dengan orang-orang mukmin dalam urusan yang mudah,
tetapi dalam hal yang agak sulit dan berat seperti berperang, mereka mengelak
dan mencari berbagai alasan yang dibuat-buat untuk menghindar atau membebaskan
diri dari kewajiban tersebut.
MENGADU DOMBA ADALAH SIFAT ORANG MUNAFIK
وَلَوْ أَرَادُوا۟ الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا۟ لَهُۥ عُدَّةً وَلٰكِن كَرِهَ
اللَّهُ انۢبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا۟ مَعَ الْقٰعِدِينَ
﴿التوبة:٤٦﴾
لَوْ خَرَجُوا۟ فِيكُم مَّا زَادُوكُمْ إِلَّا خَبَالًا وَلَأَوْضَعُوا۟
خِلٰلَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمّٰعُونَ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ
عَلِيمٌۢ بِالظّٰلِمِينَ ﴿التوبة:٤٧﴾
Dan jika mereka mau
berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi
Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan
mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang
tinggal itu”.(46)
Jika mereka berangkat bersama-sama
kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan
tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk
mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang
amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang
zalim.(47)
Kosakata: خَبَالًا
Kata khabalan diambil dari khabala – yakhbulu - khablan
wa khabalan, yang berarti kerusakan. Pada mulanya kerusakan pada anggota
badan. Ungkapan khubilat yaduhu artinya tangannya terpotong dan rusak.
Kemudian dipakai untuk hal hal yang maknawi. Ayat 47 at-Taubah menyebutkan
bahwa jika orang munafik keluar bersama
kaum Muslimin untuk berjihad, atau jumlah mereka sedikit, niscaya mereka akan
berbuat kerusakan. Mereka itu pasti akan masuk ke celah-celah kaum Muslimin
untuk mengetahui rahasia serta kekuatan dan kelemahan, lalu menghembuskan
isu-isu negatif, untuk mengacaukan yang menimbulkan kerusakan di antara kaum
Muslimin.
Munasabah
Ayat-ayat yang lalu
menerangkan bahwa orang-orang yang merasa enggan memenuhi seruan Nabi Muhammad
saw dan meminta izin untuk tidak berperang ialah orang-orang munafik. Ayat-ayat
ini menerangkan sifat sifat mereka yang membahayakan, di antaranya suka membuat
kekacauan di barisan kaum Muslimin.
Tafsir
(46) Ayat ini menerangkan bukti kepalsuan sumpah mereka dan
kebohongan ucapan mereka, yaitu tidak terdapatnya tanda-tanda bahwa mereka akan
ikut berperang. Kalau benar mereka mau berangkat ke medan perang tentunya
mereka menyiapkan peralatan yang diperlukan seperti bekal, kendaraan, senjata,
dan sebagainya.
Tidak berangkatnya
orang-orang munafik ke medan peran merupakan keuntungan bagi kaum Muslimin,
karena kalau mereka ikut bersama ke medan perang, mereka tentu akan mengadu
domba antara kaum Muslimin dan mengacaukan barisan. Itulah sebabnya Allah
menjadikan niat mereka lemah, khawatir, dan ragu-ragu di dalam hatinya,
menyebabkan mereka merasa enggan dan tidak mau berangkat, seakan ada yang
mengatakan kepada mereka dengan nada marah, “Tinggal sajalah kamu sekalian
bersama anak-anak, perempuan, orang lemah, orang sakit, dan tak usah berangkat
ke medan perang.” Perkataan ini menyenangkan orang-orang munafik karena
dianggapnya kata-kata itu sesuai dengan kehendak dan keinginannya, sekalipun
kata-kata itu diucapkan dengan nada yang kurang menyenangkan.
(47) Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalaupun orang-orang
munafik yang meminta izin itu berangkat juga bersama kaum Muslimin, mereka
tidak akan menambah ketenangan dan semangat kaum Muslimin, tetapi sebaliknya
mereka akan mengacaukan konsentrasi kaum Muslimin dan merusak persatuan, serta
melemahkan sikap tegar mereka, Allah mengetahui orang-orang yang zalim dan
memberi balasan yang setimpal di hari kemudian nanti.
Kesimpulan
1. Berperang itu wajib hukumnya bila kondisinya sudah mengharuskan kaum mukmin
berperang, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat.
2. Berperang itu membutuhkan pengorbanan dengan harta dan nyawa. Pengorbanan
dengan harta dan jiwa di jalan Allah dinamakan Jihad fi sabilillah. Jihad fi
sabilillah adalah jalan terbaik mencari rida Allah dan puncak ajaran Islam.
3. mampu berjihad fi sabilillah karena mereka tidak siap mengikuti perjalanan
jauh dan mereka ragu terhadap janji Allah. Mereka suka mencari-cari alasan.
Sikap seperti itu sebenarnya membinasakan diri mereka sendiri. Allah Mahatahu
mereka itu pembohong.
4. Orang-orang yang meminta izin pada Rasulullah saw. untuk tidak ikut
berjihad dengan harta dan jiwa itu adalah orang-orang munafik yang imannya
masih ragu-ragu. Allah tidak suka mereka ikut berjihad karena akan mengacaukan
saf para Mujahidin dengan menyebar isu-isu bohong karena ingin mencelakakan
kaum mukmin.
5. Kelompok munafiqun itu sudah ada di zaman Rasul saw. dan akan tetap ada
sampai kiamat. Mereka perusak umat dari dalam.
Daftar Pustaka
Kementrian Agama RI. Al-Qur’an Dan Tafsirnya
jilid 4. Jakarta: Lembaga Percetakan
Al-Qur’an Kementrian Agama, 2010
Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbah volume
5. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2012